.quickedit{ display:none; }

Rabu, 14 Desember 2011

Mengawal Akidah dari Lembaga Pendidikan


Ditengah dahsyatnya ‘serbuan’ paham-paham yang merusak akidah masyarakat Aceh, dibenak kita muncul satu pertanyaan; sejauhmana peran lembaga pendidikan formal di Aceh membentengi akidah umat? Jika kita telaah lebih lanjut, ternyata pendidikan agama khususnya pelajaran akidah dan pelajaran-pelajaran dasar keislaman lainnya masih dianggap tabu untuk diajarkan di sekolah-sekolah umum dan bahkan sekolah agama sekalipun. Kita bisa melihat, hingga hari ini, berapa lama jam pengajaran pendidikan Islam diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi umum? Misalnya mata pelajaran pokok Islam seperti Sirah Nabawiyah, Tauhid/Akidah, Alquran/Ulumul Quran, Tafsir, Hadist/Ulumul Hadist, Ushul Fikh/Fikih dan sebagainya. Ada sekolah yang bahkan hanya memberikan waktu sebanyak 2 jam untuk quota pengajaran agama Islam per pekannya.


Bahkan, beberapa mata pelajaran pokok Islam ini cenderung menjadi mata pelajaran kelas dua pada sekolah-sekolah umum dan bahkan di madrasah agama sekalipun. Maka kemudian munculnya komunitas masyarakat atau mahasiswa yang mengartikan Islam secara serampangan yang berakhir dengan goyahnya akidah mereka adalah sebuah konsekwensi logis. Kasus-kasus seperti ini misalnya terlihat dari pemaknaan konsep Ad-Din yang tidak dimaknai sebagai 'Agama' oleh komunitas Millata Abraham. Begitu juga dengan tekad komunitas tersebut untuk menggabungkan ajaran agama-agama samawi seperti Kristen dan Yahudi di dunia kedalam agama tersebut. Kasus lainnya misalnya terlihat dari pola pikir komunitas Islam liberal yang menganggap kebenaran itu relatif. Semua agama mengajarkan kebenaran. Inilah efek ketika pelajaran pendidikan Islam tidak lagi menjadi perhatian lembaga pendidikan formal, diperhatikan namun masih begitu minim.
Disisi lain, selama ini mata pelajaran umum juga belum disajikan secara Islami. Misalnya mata pelajaran IPA, IPS, belum ada petunjuk yang konkrit untuk para guru bagaimana menyajikan pendidikan umum yang selalu relevan dengan nilai-nilai Islam, sehingga para peserta didik memahami betul bahwa pelajaran yang diajari juga memiliki kaitan dengan pendidikan Islam. Dengan realita seperti ini, alhasil, sekali lagi, lahirnya produk-produk pendidikan yang buta dengan agamanya, atau hanya beragama dengan pikirannya menjadi konsekuensi yang sangat logis. Selain itu, berbagai ketimpangan yang terjadi selama ini, baik pada ranah individual, masyarakat maupun tatanan negara yang merongrong mimpi kita melihat Islam jaya di Aceh terjadi justru karena nilai-nilai pendidikan Islam belum diterapkan secara sempurna di lembaga pendidikan formal, atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.
Di perguruan tinggi bahkan lebih ironis lagi, dengan alasan belajar di jurusan umum tertentu, pelajaran agama Islam hanya diajari saat semester pertama atau bahkan tidak pernah disentuh sama sekali. Para mahasiswa hanya mendapatkan ilmu-ilmu keislaman dari halaqah-halaqah, kajian-kajian keislaman dan sebagainya. Itupun terbatas hanya bagi mahasiswa yang seriua menuntut ilmu. Cukupkah?  tentu tidak. Lembaga pendidikan seharusnya menyediakan ruang bagi mahasiswanya untuk mempelajari Islam hingga selesai perkuliahan. Karena Aceh membutuhkan produk-produk pendidikan yang tidak hanya menguasai bidang keilmuan umum saja. Tetapi juga memiliki wawasan keIslaman (tsaqafah Islamiyah) dan komitmen keIslaman(wala’ dan bara’) yang memadai.
Kondisi dengan segala carut marut ini ternyata merupakan buah dan produk dari sistem pendidikan sekuler Indonesia yang diwarisi dari semangat kolonialisasi era penjajahan oleh para tokoh titipan kaum kolonialis. Fakta ini semakin mempertegas urgensitas Islamisasi pendidikan di Aceh. Sistem pendidikan Indonesia yang sekuler-materialistik ini sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik  tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Maka. Sampai disini Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge) sudah seharusnya menjadi perhatian utama para ulama dan umara di Aceh ke depan untuk kemudian dijadikan sebagai agenda utama dalam proses penerapan syariat Islam di Aceh. Sebab, tidak diragukan lagi bahwa hanya dengan pendidikan Islam yang komperhensif pintu gerbang kebangkitan Islam dan umatnya bisa dibuka. Hanya dengan Islamisasi Pendidikan cita-cita syariat Islam yang kaffah di Aceh menjadi mungkin untuk diimpikan. Hanya dengan masuknya nilai-nilai Islam di semua level lembaga pendidikan akidah umat bisa terus dikawal.
Secara normatif, Islamisasi pendidikan di Aceh seperti ini sesuai dengan kultur masyarakat Aceh yang kental dengan nilai-nilai keislaman. Secara yuridis, Islamisasi pendidikan ini di Aceh bisa dimulai dari kurikulum pembelajaran karena didukung oleh Qanun Pendidikan yang merupakan turunan dari UUPA (Undang-undang pemerintahan Aceh). Dalam Qanun nomor 5 tahun 2008, pada pasal 35 disebutkan; (1) Kurikulum yang digunakan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan standar isi nasional dan muatan lokal yang dilaksanakan secara Islami. (2) Kurikulum yang dilaksanakan secara islami sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah seluruh proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah.
Menyimak ayat 1 dan 2 pasal 35 tersebut, sebenarnya sudah secara jelas meniscayakan agar semua stakeholderpendidikan di Aceh serius mewujudkan semua usaha islamisasi pendidikan pada semua lembaga pendidikan di Aceh dan di semua levelnya yang dimulai dengan menata kembali kurikulum pendidikan Islam. Khususnya di lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah dan perguruan tinggi umum. Disini, peran eksekutif dan legislatif juga sangat dituntut untuk benar-benar menaruh perhatian yang ekstra terhadap perjalanan pendidikan Islam di Aceh. Baik dari sektor finansial maupun sektor lainnya. Sebab, tujuan mereka diangkat sebagai legislatif dan eksekutif sendiri adalah untuk mewujudkan semua harapan rakyat yang dalam hal ini diterjemahkan ke dalam qanun-qanun dan aturan lainnya yang telah disepakati oleh rakyat.
Dalam urusan pendidikan ini, dengan keistimewaan yang kita miliki, Aceh mestinya sudah meninggalkan total semua model pendidikan sekuleristik-materialistik ala Indonesia. Secara paradigmatik, konsep pendidikan di Aceh harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum, dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sesuai dengan amanah qanun diatas. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas. Melihat kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimalisasi pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhsiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqafah/wawasan Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Dengan Islamisasi kurikulum di lembaga pendidikan ini, ke depan kita berharap agar paham-paham dan agama imporan yang merusak akidah umat bisa diantisipasi. Selain itu, Islamisasi kurikulum lembaga pendidikan ini nampaknya juga akan merubah paradigma kita bahwa syariat Islam di Aceh bukan hanya berbicara tentang pidana (jinayah) saja, tapi juga syariat Islam yang bisa membentuk manusia yang siap menjalani hukuman, syariat Islam yang bisa membawa umat ini menuju kemajuan dan kejayaan, kekokohan akidah, mental yang kuat, mandiri dan sejahtera secara ekonomi dan sebagainya.Tentunya, semua ini hanya bisa diwujudkan jika eksekutif dan legislatif kita menaruh perhatian yang ekstra, bukan hanya retorika menjelang pilkada. Wallahu a’lam bishshawab.Teuku Zulkhairi | Mahasiswa Program Studi Pendidikan Islam Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar